Sabtu, 21 Juli 2012

Politikus Wanita dlm Pandangan Islam


POLITIKUS WANITA DALAM PANDANGAN ISLAM
Oleh : Drs. H. Sutino Sasmito*)

Muqaddimah

Allah SWT menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai kedudukan dan martabat yang sama, dan secara khusus Allah SWT menempatkan ”Taqwa” sebagai barometer kemulyaan  manusia. Hal ini seperti termaktub didalam Al-Qur’an ayat 13 surat Al-Hujurat:

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

 Begitu pula. Allah telah maklumkan bahwa antara pria dan wanita dijadikan dari jiwa yang satu, karenanya antara keduanya tidak dapat dipisahkan berdasarkan unsur penciptaannya. Hal ini dijelaskan dalam QS. An-Nisa ayat 1:

”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu”.

[263]  maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.

Dari dua ayat di atas dapatlah dipahami, bahwa manusia baik itu  pria maupun wanita mempunyai derajat yang sama di mata Allah SWT. Maknanya adalah bahwa Allah SWT tidak pernah menempatkan salah satu dari keduanya lebih unggul dari lainnya jika dilihat dari sudut penciptaannya. Yang  membedakan di antara keduanya adalah nilai ”ketaqwaan atau ”keshalehahnya”.

Untuk meraih derajat ”Taqwa”,  Allah SWT  telah menetapkan aturan  tentang hak dan kewajiban antara pria dan wanita, dimana masing-masing diberi kesempatan yang sama untuk dapat merealisasikan dalam kehidupan mereka. Di dalam QS. An-Nisa ayat 34 Allah SWT berfirman :

”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.

Para ahli tafsir (Mufassirin) menjadikan ayat ini sebagai rujukan dalam merumuskan tentang Hak dan Kewajiban antara pria dan wanita. Dengan memahami hak dan kewajiban secara benar antara pria dan wanita, dapat menjaga nilai keseimbangan diantara keduanya serta dapat menghindarkan diri dari ketimpangan yang fatal.

Wanita dan Politik
Semangat gerakan ”gender” yang sedang menggelembung pada akhir-akir ini, seolah menjadi magnit ajaib dikalangan kaum hawa untuk terus mendobrak keterbelakangan posisi mereka ( yang menurut anggapan kaum perempuan hanya diposisikan sebagai konco wingking atau sering dibatasi dengan urusan ”kasur – dapur – sumur”). Status mereka yang terkesan sebagai pelengkap penderita, mulai diperjuangkan secara habis-habisan dengan target mereka harus sama dengan kaum adam. Kaum hawa di era modern ini yakin, bahwa mereka memiliki peran dan fungsi sama dengan kaum  adam. Sehingga seluruh aspek kehidupan harus terus dikejar untuk meraih kesejajaran.
Salah satu bidang yang kini menjadi target di kalangan kamu hawa adalah masalah ”politik”. Terlebih lagi adanya kebijakan tentang frame demokrasi yang sarat dengan muatan politik. Sehingga tidak jarang banyak kaum wanita yang turut terjun langsung dalam kawah politik. Sebagai motivator, mereka kaitkan dengan sosok Kartini yang dinisbahkan sebagai pejuang emansipasi. Kartini, digambarkan sebagai sosok yang bersemangat dalam memperjuangkan kaum perempuan agar mempunyai hak yang sama dan sejajar dengan kaum pria. Bagai gayung bersambut, kaum perempuan Indonesiapun bergegas mencari peluang karir setinggi tingginya, tak terkecuali dalam wilayah politik praktis, dengan tanpa peduli harus mengorbankan keluarga maupun harga diri. Benarkah sikap demikian sejalan dengan perjuangan Kartini dan selaras dengan semangat ajaran Islam?.
Tampaknya kesimpulan tersebut terlalu terburu-buru. Mengenal jati diri Kartini, salah satunya adalah dengan membaca buku kumpulan surat-suratnya kepada sahabat-sahabatnya di Belanda. Dalam buku tersebut tampak jelas, bahwa Kartini adalah sosok yang berani menentang adat istiadat yang kuat di lingkungannya. Ia menganggap setiap manusia sederajat, sehingga tidak seharusnya adat istiadat membedakan berdasar asal-usul keturunannya. Pada awalnya memang Kartini mengungkapkan kehidupan liberal di Eropa yang tidak dibatasi tradisi sebagaimana di Jawa. Namun, setelah Kartini mengenal Islam, ia justru banyak mengkritik peradaban masyarakat Eropa dan menyebutnya sebagai kehidupan yang tidak layak disebut sebagai peradaban. Dalam suratnya pula, Kartini pernah meminta agar pemerintah Hindia Belanda memperhatikan nasib pribumi dengan menyelenggarakan pendidikan. Dia mengungkapkan hal yang sama kepada sahabat-sahabatnya, terutama pendidikan bagi kaum perempuan. Hal itu karena perempuanlah yang membentuk budi pekerti anak.

Berulang-ulang Kartini menyebut perempuan adalah isteri dan pendidik anak yang pertama-tama. Dia maksudkan keinginannya mengusahakan pendidikan dan pengajaran agar perempuan lebih cakap dalam menjalankan kewajibannya dan tidak bermaksud menjadikan anak-anak perempuan sebagai saingan laki-laki. Tidak ada keinginan Kartini untuk mengejar persamaan hak dengan laki-laki dan meninggalkan perannya dalam rumah tangga. Bahkan, ketika dia menikah dengan seorang duda yang memiliki banyak anak, Kartini sangat menikmati tugasnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anak suaminya. Itulah yang membuat Stella, salah seorang sahabatnya, heran mengapa Kartini rela menikah dan menjalani kehidupan rumah tangganya. Itulah sosok Kartini yang mengajak setiap perempuan memegang teguh ajaran agamanya dan meninggalkan ide kebebasan yang menjauhkan perempuan dari fitrahnya. Kini jelas, apa yang diperjuangakan para aktivis gender dengan mendorong perempuan meraih kebebasan dan meninggalkan rumah tangganya bukanlah perjuangan Kartini. Sejarah kehidupan Kartini telah disalah gunakan untuk kepentingan mereka.

Dalam perspektif ajaran Islam, sesungguhnya kaum perempuan sangat dimulyakan. Ada batas-batas wilayah dimana seorang wanita dapat bertindak atau tidak bertindak. Kalau ada pembatasan dalam hal tertentu, itu bukan berarti mengekang hak-hak kaum hawa, tetapi justru dalam rangka meninggikan derajat mereka sesuai dengan nilai kefitrahannya. Tentu Allah SWT sangat mengerti tentang apa yang harus diperankan oleh makhluk ciptaanNya. Ajaran Islam yang bersifat syumul (menyeluruh) akan memberikan nilai kemanfaatan, jika difahami secara benar berdasarkan pendekatan Naqli dengan tanpa meninggalkan Aqli dan bukan dipahami secara emosi. Wallahu a’lam bishshawwab.
 
*)Penyuluh Agama Islam, pada Kantor Departemen Agama Kabupaten Lam. Sel.
**) Makalah disampaikan pada Kegiatan Forum Dialog Politik dan Peberdayaan bagi Kaum Perempuan, pada hari Selasa s/d Kamis, 8 s/d 10 Juli 2008.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar