Kamis, 13 September 2012

Antara JIHAD dan FASAD


Disarikan oleh : Abu Abbad Ar-Rozan al-Mafazah

Jihad berasal dari bahasa Arab dari akar kata “jahada” yang berarti “bersungguh-sungguh”. Dari akar kata ini membentuk 3 (tiga) kata kunci, yakni :

(1). Jihad yakni perjuangan dengan fisik
(2). Ijtihad , yakni perjuangan dengan nalar dan
(3). Mujahadah yakni perjuangan bathin.
Sinergi antara Jihad, Ijtihad dan Mujahadah inilah yang disebut “JIHAD’ yang sesungguhnya dan inilah yang selalu dicontohkan Rasulullah SAW. Jihad yang sebenarnya tidak pernah terpisah dengan Ijtihad dan Mujahadah. Jihad harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan kekuatan Ijtihad dan Mujahadah. Jihad tanpa perhitungan matang, apalagi mendatangkan “mudharat” lebih besar daripada “manfaatnya”, sesungguhnya tidak bisa disebut Jihad, tetapi lebih tepat disebut dengan “keonaran” atau “fasad” (kerusakan)., yaitu tindakan nekad dan sia-sia yang dilegitimasi dengan ayat atau hadits.
Jihad bertujuan untuk menghidupkan orang dan mewujudkan kemaslahatan. Jika orang gugur di medan Jihad maka termasuk kategori mati “Syahid” atau sebagai “Syuhada”. Sedangkan Fasad bertujuan untuk mengorbankan orang lain dan menimbulkan kerugian (mafsadat) dan rasa takut. Jika gugur didalamnya bisa termasuk dalam kategori mati konyol. Orang ini dapat dianalogikan dengan hadits yang mengatakan orang yang mati bunuh diri atau mati dalam kekafiran. Orang yang sudah tahu akibat buruk dan segala resiko tetapi masih terus dilakukannya, maka termasuk perbuatan konyol.
Jihad Rasulullah SAW selalu mengedepankan pendekatan “soft of power”. Beliau lebih banyak menyelesaikan persoalan dan tantangan dengan pendekatan nonmiliteristik. Beliau selalu mengedepankan cara-cara damai dan manusiawi. Bentrok fisik selalu menjadi alternatif terakhir, itupun sebatas pembelaan diri. Kalau terpaksa harus melalui perang fisik terbuka. Nabi SAW selalu mengingatkan pasukannya agar tidak melakukan 3 (tiga) hal, yakni:
(1). tidak membunuh anak-anak dan perempuan
(2). Tidak merusak tanaman
(3). Dan tidak menghancurkan rumah-rumah ibadah musuh
Dan jika musuh sudah angkat tangan, apalagi kalau sudah bersyahadat, tidak boleh diganggu. Suatu ketika, Rasulullah SAW pernah marah kepada Panglima Angkatan Perangnya, Usamah, lantaran Usamah membunuh seorang musuh yang terperangkap lalu mengucapkan Syahadat. Nabi SAW bersabda: “Kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah yang menghukum apa yang tidak tampak (baca: Aqidah)”. Akhlaqul Karimah tidak pernah beliau tinggalkan sekalipun di medan perang.
Kemuliaan Jihad tidak perlu diragukan. Seseorang yang gugur di medan jihad akan langsung masuk Syurga, bahkan kalau terpaksa, tidak perlu dikafani, cukup dengan pakaian yang melekat di badannya, karena bagaimanapun yang bersangkutan akan langsung masuk syurga. Begitu baginda Rasulullah bersabda. Namun kekuatan Ijtihad tidak kalah pentingnya dengan jihad secara fisik. Nabi SAW secara arif pernah bersabda: “Goresan tinta pena para ‘Ulama lebih mulia daripada percikan darah para syuhada”.
Demikian pula dengan kekuatan “mujahadah”, Rasulullah SAW juga pernah bersabda, setelah usai peperangan hebat, :”Kita baru saja kembali dari perang kecil ke medan perang yang lebih besar, yaitu perang melawan hawa nafsu”. Sesungguhnya menaklukkan “hawa Nafsu” bagian dari fungsi Mujahadah.
(Disadur dari tulisan: Nasaruddin Umar, dalam rubrik Tau-Litik, Harian Rakyat Merdeka, edisi Kamis, 13 September 2012, hal. 12)