Disarikan oleh : Abu Abbad Ar-Rozan al-Mafazah
Jihad berasal dari bahasa Arab dari akar kata “jahada” yang berarti “bersungguh-sungguh”. Dari akar kata ini membentuk 3 (tiga) kata kunci, yakni :
(1). Jihad yakni perjuangan dengan fisik
(2). Ijtihad , yakni perjuangan dengan nalar dan
(3). Mujahadah yakni perjuangan bathin.
Sinergi antara Jihad, Ijtihad dan
Mujahadah inilah yang disebut “JIHAD’ yang sesungguhnya dan inilah
yang selalu dicontohkan Rasulullah SAW. Jihad yang sebenarnya tidak pernah
terpisah dengan Ijtihad dan Mujahadah. Jihad harus merupakan bagian yang tak
terpisahkan dengan kekuatan Ijtihad dan Mujahadah. Jihad tanpa perhitungan
matang, apalagi mendatangkan “mudharat” lebih besar daripada “manfaatnya”,
sesungguhnya tidak bisa disebut Jihad, tetapi lebih tepat disebut dengan “keonaran”
atau “fasad”
(kerusakan)., yaitu tindakan nekad dan sia-sia yang dilegitimasi dengan ayat
atau hadits.
Jihad bertujuan untuk menghidupkan
orang dan mewujudkan kemaslahatan. Jika orang gugur di medan Jihad maka
termasuk kategori mati “Syahid” atau sebagai “Syuhada”.
Sedangkan Fasad bertujuan untuk mengorbankan orang lain dan menimbulkan
kerugian (mafsadat) dan rasa takut. Jika gugur didalamnya bisa termasuk dalam
kategori mati konyol. Orang ini dapat dianalogikan dengan hadits yang
mengatakan orang yang mati bunuh diri atau mati dalam kekafiran. Orang yang
sudah tahu akibat buruk dan segala resiko tetapi masih terus dilakukannya, maka
termasuk perbuatan konyol.
Jihad Rasulullah SAW selalu
mengedepankan pendekatan “soft of power”. Beliau lebih banyak
menyelesaikan persoalan dan tantangan dengan pendekatan nonmiliteristik. Beliau
selalu mengedepankan cara-cara damai dan manusiawi. Bentrok fisik selalu
menjadi alternatif terakhir, itupun sebatas pembelaan diri. Kalau terpaksa
harus melalui perang fisik terbuka. Nabi SAW selalu mengingatkan pasukannya
agar tidak melakukan 3 (tiga) hal, yakni:
(1). tidak membunuh anak-anak dan perempuan
(2). Tidak merusak tanaman
(3). Dan tidak menghancurkan rumah-rumah ibadah musuh
Dan jika musuh sudah angkat tangan,
apalagi kalau sudah bersyahadat, tidak boleh diganggu. Suatu ketika, Rasulullah
SAW pernah marah kepada Panglima Angkatan Perangnya, Usamah, lantaran Usamah
membunuh seorang musuh yang terperangkap lalu mengucapkan Syahadat. Nabi SAW
bersabda: “Kita hanya menghukum apa yang
tampak dan Allah yang menghukum apa yang tidak tampak (baca: Aqidah)”.
Akhlaqul Karimah tidak pernah beliau tinggalkan sekalipun di medan perang.
Kemuliaan Jihad tidak perlu
diragukan. Seseorang yang gugur di medan jihad akan langsung masuk Syurga,
bahkan kalau terpaksa, tidak perlu dikafani, cukup dengan pakaian yang melekat
di badannya, karena bagaimanapun yang bersangkutan akan langsung masuk syurga.
Begitu baginda Rasulullah bersabda. Namun kekuatan Ijtihad tidak kalah
pentingnya dengan jihad secara fisik. Nabi SAW secara arif pernah bersabda: “Goresan
tinta pena para ‘Ulama lebih mulia daripada percikan darah para syuhada”.
Demikian pula dengan kekuatan “mujahadah”,
Rasulullah SAW juga pernah bersabda, setelah usai peperangan hebat, :”Kita baru saja kembali dari perang kecil
ke medan perang yang lebih besar, yaitu perang melawan hawa nafsu”.
Sesungguhnya menaklukkan “hawa Nafsu” bagian dari fungsi Mujahadah.
(Disadur dari tulisan: Nasaruddin Umar,
dalam rubrik Tau-Litik, Harian Rakyat Merdeka, edisi Kamis, 13 September 2012,
hal. 12)