Kamis, 23 Agustus 2012
Keabsahan Halal bihalal
Pengertian Halal Bihalal dan Sejarahnya
Secara bahasa, halal bihalal
adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau
sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa
Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Makkah
dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji Indonesia –dengan
keterbatasan kemampuan bahasa Arab mereka- bertanya ‘halal?’ saat bertransaksi
di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat
dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk
mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat ada
makanan atau minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jamaah haji biasa bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa
makanan / minuman tersebut gratis dan halal untuk mereka.
Kata majemuk ini tampaknya memang ‘made
in Indonesia’. Kata halal bihalal justru diserap Bahasa Indonesia
dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat
(auditorium, aula, dsb) oleh sekelompok orang dan merupakan suatu
kebiasaan khas Indonesia.”
Penulis Iwan Ridwan menyebutkan
bahwa halal bihalal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang
Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai
ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya kegiatan ini
diselenggarakan setelah melakukan salat Idul Fitri. Kadang-kadang, acara halal
bihalal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fitri dalam bentuk
pengajian, ramah tamah atau makan bersama.
Konon, tradisi halal bihalal
mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 April 1725), yang
terkenal dengan sebutan ‘Pangeran Sambernyawa’. Untuk menghemat waktu, tenaga,
pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara
raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua
punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan
permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru
oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bihalal. Kemudian
instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bihalal, yang
pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama
Halal bihalal dengan makna seperti di atas juga
tidak ditemukan penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis
dengan bangga menyebutkan bahwa halal-bihalal adalah hasil kreativitas
bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia. . Namun, dalam kaca mata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan;
karena semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin
diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru
mengurangi kesempurnannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas keabsahan
tradisi halal bihalal menurut pandangan syariah.
Dari beberapa pengertian di atas,
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan halal bihalal bukanlah
tradisi saling mengunjungi di hari raya Idul Fitri yang juga umum dilakukan di
dunia Islam yang lain. Tradisi ini keluar dari pembahasan tulisan ini, meskipun
juga ada acara bermaaf-maafan di sana.
Hari raya dalam Islam harus berlandaskan dalil
(tauqifiy)
Hukum asal dalam bab ibadah adalah bahwa semua ibadah
haram sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab adat dan muamalah, segala perkara
adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Perayaan hari raya (‘id)
sebenarnya lebih dekat kepada bab mu’amalah. Tapi masalah ‘id
adalah pengecualian, dan dalil-dalil menunjukkan bahwa ‘id adalah
tauqifiy (harus berlandaskan dalil). Hal ini karena ‘id tidak hanya
adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Asy-Syathibi mengatakan:
وإن العاديات من حيث هي عادية لا بدعة
فيها، ومن حيث يُتعبَّد بها أو تُوْضع وضْع التعبُّد تدخلها البدعة.
“Dan sungguh adat istiadat dari sisi ia adat, tidak
ada bid’ah di dalamnya. Tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah,
bisa ada bid’ah di dalamnya.”
Dan tauqifiy dalam perayaan ‘id memiliki
dua sisi:
1. Tauqifiy dari sisi landasan penyelenggaraan,
di mana Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- membatasi hanya ada dua hari
raya dalam satu tahun, dan hal ini berdasarkan wahyu.
عَنْ أَنَسِ
بْنَ مَالِكٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا
نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ. قَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ
أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا؛ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ.
Anas bin Malik berkata: “Rasulullah
–shallallah ‘alaih wasallam- datang ke Madinah dan penduduknya memiliki
dua hari di mana mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya: “Apakah dua
hari ini?” Mereka menjawab: “Dahulu kami biasa bermain di dua hari ini semasa
Jahiliyah.” Beliaupun bersabda: “Sungguh Allah telah menggantikannya dengan
dua hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR Abu Dawud
no. 1134, dihukumi shahih oleh al-Albani). Maka, sebagai bentuk pengalaman dari
hadits ini, pada zaman Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- dan generasi
awal umat Islam tidak dikenal ada perayaan apapun selain dua hari raya
ini ., berbeda dengan umat Islam zaman
ini yang memiliki banyak sekali hari libur dan perayaan yang tidak memiliki
landasan syar’i.
2. Tauqifiy dari sisi tata cara pelaksanaannya,
karena dalam Islam, hari raya bukanlah sekedar adat, tapi juga ibadah yang
sudah diatur tata cara pelaksanaannya. Setiap ibadah yang dilakukan di hari
raya berupa shalat, takbir, zakat, menyembelih dan haramnya berpuasa
telah diatur. Bahkan hal-hal yang dilakukan di hari raya berupa keleluasaan
dalam makan minum, berpakaian, bermain dan bergembira juga tetap dibatasi oleh
aturan-aturan syariah
Pengkhususan membutuhkan dalil
Di satu sisi Islam telah menjelaskan tata cara
perayaan hari raya, tapi di sisi lain tidak memberi batasan tentang beberapa
sunnah dalam perayaan ‘id, seperti bagaimana menampakkan kegembiraan,
bagaimana berhias dan berpakaian, atau permainan apa yang boleh dilakukan.
Syariah Islam merujuk perkara ini kepada adat dan tradisi masing-masing.
Jadi, boleh saja umat Islam berkumpul, bergembira,
berwisata, saling berkunjung dan mengucapkan selamat. Bahkan kegembiraan ini
perlu ditekankan agar anggota keluarga merasakan hari yang berbeda dan
puas karenanya, sehingga mereka tidak tergoda lagi dengan hari besar-hari besar
yang tidak ada dasarnya dalam Islam
Namun mengkhususkan hari Idul Fitri dengan
bermaaf-maafan membutuhkan dalil tersendiri. Ia tidak termasuk dalam
menunjukkan kegembiraan atau berhias yang memang disyariatkan di hari raya. Ia
adalah wazhifah (amalan) tersendiri yang membutuhkan dalil.
Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- dan para
sahabat tidak pernah melakukannya, padahal faktor pendorong untuk
bermaaf-maafan juga sudah ada pada zaman mereka. Para sahabat juga memiliki
kesalahan kepada sesama, bahkan mereka adalah orang yang paling bersemangat
utnuk membebaskan diri dari kesalahan kepada orang lain. Tapi hal itu tidak
lantas membuat mereka mengkhususkan hari tertentu untuk bermaaf-maafan.
Jadi, mengkhususkan Idul Fitri untuk bermaaf-maafan
adalan penambahan syariah baru dalam Islam tanpa landasan dalil. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah berkata:
فَكُلُّ أمرٍ يَكُوْنُ المُقْتَضِي
لِفعْلِه عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَوْجُوْداً لَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يُفْعَلْ، يُعْلَمُ أنَّهُ لَيْسَ
بِمَصْلَحَةٍ.
“Maka setiap perkara yang faktor penyebab pelaksanaannya
pada masa Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- sudah ada jika itu maslahat
(kebaikan), dan beliau tidak melakukannya, berarti bisa diketahui bahwa perkara
tersebut bukanlah kebaikan.”
Serupa dengan bersalam-salaman setelah shalat dan
mengkhususkan ziarah kubur di hari raya
Karena tidak dikenal selain di Indonesia dan baru
muncul pada abad-abad terakhir ini, tidak banyak perkataan ulama yang membahas
secara khusus tentang halal bihalal. Namun ada masalah lain yang
memiliki kesamaan karakteristik dengan halal bihalal dan sudah banyak
dibahas oleh para ulama sejak zaman dahulu, yaitu masalah berjabat tangan atau
bersalam-salaman setelah shalat dan pengkhususan ziarah kubur di hari raya.
Berjabat tangan adalah sunnah saat bertemu dengan
orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:
عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ
فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَاََََ
Dari al-Bara’ (bin ‘Azib) ia berkata: Rasulullah –shallallah
‘alaih wasallam- bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu
berjabat tangan, melainkan keduanya sudah diampuni sebelum berpisah.” (HR.
Abu Dawud no. 5.212 dan at-Tirmidzi no. 2.727, dihukumi shahih oleh
al-Albani)
Tapi ketika sunnah ini dikhususkan pada waktu tertentu
dan diyakini sebagai sunnah yang dilakukan terus menerus setiap selesai shalat,
hukumnya berubah; karena pengkhususan ini adalah tambahan syariah baru dalam
agama. Di samping itu, bersalama-salaman setelah shalat juga membuat orang
tersibukkan dari amalan sunnah setelah shalat yaitu dzikir
Ibnu Taimiyyah ditanya tentang masalah ini, maka
beliau menjawab: “Berjabat tangan setelah shalat bukanlah sunnah, tapi itu adalah bid’ah, wallahu
a’lam“
Lebih jelas lagi, para ulama menghitung pengkhususan
ziarah kubur di hari raya termasuk bid’ah ,padahal ziarah kubur juga
merupakan amalan yang pada dasarnya dianjurkan dalam Islam, seperti dijelaskan
dalam hadits berikut:
عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا؛ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَة
Dari Buraidah (al-Aslami) ia berkata: Rasulullah –shallallah
‘alaih wasallam- bersabda: “Sungguh aku dulu telah melarang kalian
berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah; karena ia mengingatkan akhirat.”
(HR Ashhabus Sunan, dan lafazh ini adalah lafazh Ahmad (no. 23.055) yang
dihukumi shahih oleh Syu’aib al-Arnauth)
Demikian pula berjabat tangan dan bermaaf-maafan
adalah bagian dari ajaran Islam. Namun ketika dikhususkan pada hari tertentu
dan diyakini sebagai sunnah yang terus menerus dilakukan setiap tahun, hukumnya
berubah menjadi tercela. Wallahu a’lam.
Beberapa pelanggaran syariah dalam halal bihalal
Di samping tidak memiliki landasan dalil, dalam halal
bihalal juga sering didapati beberapa pelanggaran syariah, di antaranya:
1. Mengakhirkan permintaan maaf hingga
datangnya Idul Fitri. Ketika melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang
lain, sebagian orang menunggu Idul Fitri untuk meminta maaf, seperti disebutkan
dalam ungkapan yang terkenal “urusan maaf memaafkan adalah urusan hari
lebaran”. Dan jadilah “mohon maaf lahir batin” ucapan yang “wajib” pada hari
Raya Idul Fitri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fitri dan kita
diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman yang kita lakukan,
sebagaimana keterangan hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ
فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا؛ فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلا دِرْهَمٌ مِنْ
قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ
حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah bahwasanya
Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- bersabda: “Barang siapa
melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan
(dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar
dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak
punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan
kepadanya”. (HR. al-Bukhari nomor 6.169)
2. Ikhtilath (campur baur lawan jenis) yang bisa
membawa ke maksiat yang lain, seperti pandangan haram dan zina. Karenanya, Nabi
–shallallah ‘alaih wasallam- melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut:
عَنْ أَبِى
أُسَيْدٍ الأَنْصَارِىِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ
فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِلنِّسَاءِ «
اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ
بِحَافَاتِ الطَّرِيقِ ». فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى
إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ.
Dari Abu Usaid al-Anshari ia
mendengar Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- berkata saat keluar
dari masjid dan kaum pria bercampur baur dengan kaum wanita di jalan. Maka
beliau mengatakan kepada para wanita: “Mundurlah kalian, kalian tidak berhak
berjalan di tengah jalan, berjalanlah di pinggirnya.” Maka para wanita melekat
ke dinding, sehingga baju mereka menempel di dinding, saking lekatnya mereka
kepadanya”. (HR. Abu Dawud no. 5272, dihukumi hasan oleh al-Albani)
3. Berjabat tangan dengan lawan jenis
yang bukan mahram. Maksiat ini banyak diremehkan oleh banyak orang dalam halal
bihalalatau kehidupan sehari-hari, padahal keharamannya telah dijelaskan
dalam hadits berikut:
عن مَعْقِل
بن يَسَارٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ:”لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ
لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ”
Dari Ma’qil bin Yasar ia berkata:
Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- bersabda: “Sungguh jika
seorang di antara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih
baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR.
ath-Thabrani, dihukumi shahih oleh al-Albani)
Al-Albani berkata: “Ancaman keras
bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Di dalamnya
terkandung dalil haramnya menjabat tangan wanita, karena tidak diragukan lagi bahwa berjabat tangan
termasuk menyentuh. Banyak umat Islam yang jatuh dalam kesalahan ini, bahkan
sebagian ulama.”
Penutup
Dari paparan di atas, bisa kita simpulkan bahwa yang
dipermasalahkan dalam halal bihalal adalah pengkhususan bermaaf-maafan
di hari raya. Pengkhususan ini adalah penambahan syariah baru yang tidak
memiliki landasan dalil. Jadi seandainya perkumpulan-perkumpulan yang banyak
diadakan untuk menyambut Idul Fitri kosong dari agenda bermaaf-maafan, maka
pertemuan itu adalah pertemuan yang diperbolehkan; karena merupakan ekspresi
kegembiraan yang disyariatkan Islam di hari raya, dan batasannya merujuk ke
adat dan tradisi masyarakat setempat. Tentunya jika terlepas dari
pelanggaran-pelanggaran syariah, antara lain yang sudah kita sebutkan di atas.
Selain di Indonesia, pertemuan yang umum disebut mu’ayadah (saling
mengucapkan selamat ‘id) ini juga ada di belahan dunia Islam lain tanpa
pengingkaran dari ulama.
Bagi yang mengatakan “ah, cuma begini saja kok
tidak boleh!“, ingatlah bahwa Nabi –shallallah ‘alaih wasallam-
menyebut setiap perkara baru dalam agama sebagai syarrul umuur
(seburuk-buruk perkara). Maka bagaimana kita bisa meremehkannya? Setiap muslim
harus berhati-hati dengan perkara-perkara baru yang muncul belakangan.
Amalkanlah sunnah dan Islam yang murni, karena itulah
wasiyat Nabi tercinta –shallallah ‘alaih wasallam-. Wallahu a’lam.
Idul Fitri & Halal Bihalal
Filosofi Idul Fitri
Abu Abbad Ar-Rozan al mafazah
Seorang
budayawan terkenal Dr Umar Khayam (alm), menyatakan bahwa tradisi Lebaran merupakan terobosan akulturasi
budaya Jawa dan Islam. Kearifan para ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya
tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat. Akhirnya tradisi Lebaran
itu meluas ke seluruh wilayah Indonesia, dan melibatkan penduduk dari berbagai
pemeluk agama. Untuk mengetahui akulturasi kedua budaya tersebut, kita cermati
dulu profil budaya Islam secara global. Di negara-negara Islam di Timur Tengah
dan Asia (selain Indonesia), sehabis umat Islam melaksanakan salat Idul Fitri
tidak ada tradisi berjabatan tangan secara massal untuk saling memaafkan. Yang
ada hanyalah beberapa orang secara sporadis berjabatan tangan sebagai tanda
keakraban.
Menurut
tuntunan ajaran Islam, saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya setelah
umat Islam menyelesaikan ibadah puasa Ramadan, melainkan kapan saja setelah
seseorang merasa berbuat salah kepada orang lain, maka dia harus segera minta
maaf kepada orang tersebut. Bahkan Allah SWT lebih menghargai seseorang yang
memberi maaf kepada orang lain (Alquran Surat Ali Imran ayat 134).
Budaya
sungkem
Dalam
budaya Jawa, seseorang “sungkem” kepada orang yang lebih tua adalah suatu
perbuatan yang terpuji. Sungkem bukannya simbol kerendahan derajat, melainkan
justru menunjukkan perilaku utama. Tujuan sungkem, pertama, adalah sebagai
lambang penghormatan, dan kedua, sebagai permohonan maaf, atau “nyuwun
ngapura”. Istilah “ngapura” tampaknya berasal dari bahasa Arab “ghafura”.
Para
ulama di Jawa tampaknya ingin benar mewujudkan tujuan puasa Ramadan. Selain
untuk meningkatkan iman dan takwa, juga mengharapkan agar dosa-dosanya di waktu
yang lampau diampuni oleh Allah SWT. Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah
SWT bisa langsung mohon pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya
bisa terhapus jika dia masih bersalah kepada orangorang lain yang dia belum
minta maaf kepada mereka?
Nah,
di sinilah para ulama mempunyai ide, bahwa di hari Lebaran itu antara seorang
dengan yang lain perlu saling memaafkan kesalahan masingmasing, yang kemudian
dilaksanakan secara kolektif dalam bentuk halal bihalal. Jadi, disebut hari
Lebaran, karena puasa telah lebar (selesai), dan dosa-dosanya telah lebur
(terhapus).
Dari uraian di
muka dapat dimengerti, bahwa tradisi Lebaran berikut halal bihalal merupakan
perpaduan antara unsur budaya Jawa dan budaya Islam.
Sejarah
halal bihalal
Sejarah asal mula halal bihalal
ada beberapa versi. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta,
bahwa tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang
terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu,
tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan
antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.
Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan
permaisuri.
Apa
yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh
organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bihalal. Kemudian
instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bihalal, yang
pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama.
Sampai
pada tahap ini halal bihalal telah berfungsi
sebagai media pertemuan dari segenap warga masyarakat. Dan dengan adanya acara
saling memaafkan, maka hubungan antarmasyarakat menjadi lebih akrab dan penuh
kekeluargaan.
Karena
halal bihalal mempunyai efek yang positif bagi
kerukunan dan keakraban warga masyarakat, maka tradisi halal bihalal perlu
dilestarikan dan dikembangkan. Lebih-lebih pada akhir-akhir ini di negeri kita
sering terjadi konflik sosial yang disebabkan karena pertentangan kepentingan.
Makna
Idul Fitri
Ada
tiga pengertian tentang Idul Fitri. Di
kalangan ulama ada yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada kesucian.
Artinya setelah selama bulan Ramadan umat Islam melatih diri menyucikan jasmani
dan rohaninya, dan dengan harapan pula dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT,
Maka memasuki hari Lebaran mereka telah menjadi suci lahir dan batin.
Ada
yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada fitrah, atau naluri religius.
Hal ini sesuai dengan Alquran Surat Al-Baqarah ayat 183, bahwa tujuan puasa
adalah agar orang yang melakukannya menjadi orang yang takwa atau meningkat
kualitas religiusitasnya.Ada pula yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali
kepada keadaan di mana umat Islam diperbolehkan lagi makan dan minum siang hari
seperti biasa. Di kalangan ahli bahasa Arab, pengertian ketiga itu dianggap
yang paling tepat.
Dari
ketiga makna tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam memasuki Idul Fitri umat
Islam diharapkan mencapai kesucian lahir batin dan meningkat kualitas
religiusitasnya. Salah satu ciri manusia religius adalah memiliki kepedulian
terhadap nasib kaum yang sengsara. Dalam Surat Al-Ma’un ayat 1 -3 disebutkan,
adalah dusta belaka kalau ada orang mengaku beragama tetapi tidak mempedulikan
nasib anak yatim. Penyebutan anak yatim dalam ayat ini merupakan representasi
dari kaum yang sengsara.
Oleh
karena itu dapat kita pahami, bahwa umat Islam yang mampu wajib memberikan zakat fitrah kepada kaum fakir miskin, dan pemberian
zakat tersebut paling lambat sebelum pelaksanaan salat Idul Fitri. Aturan ini
dimaksudkan, agar pada waktu umat Islam yang mampu bergembira ria merayakan
Idul Fitri jangan ada orang-orang miskin yang sedih, atau sampai menangis,
karena tidak ada yang dimakan. Agama Islam sangat menekankan harmonisasi
hubungan antara si kaya dan si miskin. Orang-orang kaya diwajibkan mengeluarkan
zakat mal (harta), untuk dibagikan kepada delapan asnaf (kelompok), di
antaranya adalah kaum fakir miskin.
Dari
uraian di muka dapat disimpulkan, bahwa Idul Fitri merupakan puncak dari suatu
metode pendidikan mental yang berlangsung selama satu bulan untuk mewujudkan
profil manusia yang suci lahir batin, memiliki kualitas keberagamaan yang
tinggi, dan memelihara hubungan sosial yang harmonis.
Idul Fitri memiliki arti kembali
kepada kesucian, atau kembali ke asal kejadian. Idul Fitri diambil dari
bahasa Arab, yaitu fithrah, berarti suci. Kelahiran seorang manusia, dalam
kaca Islam, tidak dibebani dosa apapun. Kelahiran seorang anak, masih dalam pandangan
Islam, diibaratkan secarik kertas putih. Kelak, orang tuanya lah yang akan
mengarahkan kertas putih itu membentuk dirinya. Dan dalam kenyataannya,
perjalanan hidup manusia senantiasa tidak bisa luput dari dosa. Karena itu,
perlu upaya mengembalikan kembali pada kondisi sebagaimana asalnya. Itulah
makna Idul Fitri.
Idul Fitri memiliki arti kembali kepada kesucian,
atau kembali ke asal kejadian. Idul Fitri diambil dari bahasa Arab, yaitu
fithrah, berarti suci. Kelahiran seorang manusia, dalam kaca Islam, tidak
dibebani dosa apapun. Kelahiran seorang anak, masih dalam pandangan Islam,
diibaratkan secarik kertas putih. Kelak, orang tuanya lah yang akan
mengarahkan kertas putih itu membentuk dirinya.
Dan dalam kenyataannya, perjalanan hidup manusia
senantiasa tidak bisa luput dari dosa. Karena itu, perlu upaya mengembalikan
kembali pada kondisi sebagaimana asalnya. Itulah makna Idul Fitri. Dosa yang
paling sering dilakukan manusia adalah kesalahan terhadap sesamanya. Seorang
manusia dapat memiliki rasa permusuhan, pertikaian, dan saling menyakiti.
Idul Fitri merupakan momen penting untuk saling memaafkan, baik secara
individu maupun kelompok.
Budaya saling memaafkan ini lebih populer disebut
halal-bihalal. Fenomena ini adalah fenomena yang terjadi di Tanah Air, dan
telah menjadi tradisi di negara-negara rumpun Melayu. Ini adalah refleksi
ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling
memberi kasih sayang.
Dalam pengertian yang lebih luas, halal-bihalal
adalah acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran. Keberadaan Lebaran adalah
suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil
melawan berbagai nafsu hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran
ini diperuntukkan bagi umat Islam yang telah berpuasa, dan mereka yang dengan
dilandasi iman.
Menurut Dr. Quraish Shihab, halal-bihalal merupakan
kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala yang diapit dengan satu kata
penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317). Meskipun kata ini berasal
dari bahasa Arab, sejauh yang saya ketahui, masyarakat Arab sendiri tidak
akan memahami arti halal-bihalal yang merupakan hasil kreativitas bangsa
Melayu. Halal-bihalal, tidak lain, adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di
tengah masyarakat Asia Tenggara. Halal-bihalal merupakan tradisi khas dan
unik bangsa ini.
Kata halal memiliki dua makna. Pertama, memiliki
arti 'diperkenankan'. Dalam pengertian pertama ini, kata halal
adalah lawan dari kata haram. Kedua, berarti “baik”. Dalam
pengertian kedua, kata “halal” terkait dengan status
kelayakan sebuah makanan. Dalam pengertian terakhir selalu dikaitkan dengan
kata thayyib (baik). Akan tetapi, tidak semua yang halal selalu berarti baik.
Ambil contoh, misalnya talak (Arab: Thalaq; arti: cerai), seperti ditegaskan
Rasulullah SAW: Talak adalah halal, namun sangat dibenci (berarti tidak
baik). Jadi, dalam hal ini, ukuran halal yang patut dijadikan pedoman, selain
makna “diperkenankan”, adalah yang baik dan yang menyenangkan. Sebagai
sebuah tradisi khas masyarakat Melayu, apakah halal-bihalal memiliki landasan
teologis? Dalam Al Quran, (Ali 'Imron: 134-135) diperintahkan, bagi seorang
Muslim yang bertakwa bila melakukan kesalahan, paling tidak harus menyadari
perbuatannya lalu memohon ampun atas kesalahannya dan berjanji untuk tidak
mengulanginya lagi, mampu menahan amarah dan memaafkan dan berbuat kebajikan
terhadap orang lain.
Dari ayat ini, selain berisi ajakan untuk saling
maaf-memaafkan, halal-bihalal juga dapat diartikan sebagai hubungan antar
manusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang serta
mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Atau bisa dikatakan, bahwa
setiap orang dituntut untuk tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali yang baik
dan menyenangkan. Lebih luas lagi, berhalal-bihalal, semestinya tidak
semata-mata dengan memaafkan yang biasanya hanya melalui lisan atau kartu
ucapan selamat, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan
bagi orang lain.
Dan perintah untuk saling memaafkan dan berbuat baik
kepada orang lain seharusnya tidak semata-mata dilakukan saat Lebaran. Akan
tetapi, harus berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Halal-bihalal yang
merupakan tradisi khas rumpun bangsa tersebut merefleksikan bahwa Islam di negara-negara
tersebut sejak awal adalah agama toleran, yang mengedepankan pendekatan hidup
rukun dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling
memusuhi dan mencurigai, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk saling
berlomba-lomba dalam kebajikan.
Ini sesuai dengan Firman Allah. Dan bagi tiap-tiap
umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah kamu (dalam) berbuat kebaikan". (Q.S. 2:148). Titik
tekan ayat di atas adalah pada berbuat kebaikan dan perilaku berorientasi
nilai. Perilaku semacam ini akan mentransformasi dunia menjadi sebuah surga.
Firman Allah (SWT), “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat
itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang yang
meminta-minta ; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan
menunaikan zakat ; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, benar (imannya) ; dan
mereka itulah orang-orang yang bertakwa". (Q.S. 2:177)
Berangkat dari makna halal-bihalal seperti tersebut
di atas, pesan universal Islam untuk selalu berbuat baik, memaafkan orang
lain dan saling berbagi kasih sayang hendaknya tetap menjadi warna masyarakat
Muslim Indonesia dan di negara-negara rumpun Melayu lainnya. Akhirnya, Islam
di wilayah ini adalah Islam rahmatan lil ‘alamiin.
|
Langganan:
Postingan (Atom)