Pengertian Halal Bihalal dan Sejarahnya
Secara bahasa, halal bihalal
adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau
sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa
Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Makkah
dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji Indonesia –dengan
keterbatasan kemampuan bahasa Arab mereka- bertanya ‘halal?’ saat bertransaksi
di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat
dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk
mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat ada
makanan atau minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jamaah haji biasa bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa
makanan / minuman tersebut gratis dan halal untuk mereka.
Kata majemuk ini tampaknya memang ‘made
in Indonesia’. Kata halal bihalal justru diserap Bahasa Indonesia
dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat
(auditorium, aula, dsb) oleh sekelompok orang dan merupakan suatu
kebiasaan khas Indonesia.”
Penulis Iwan Ridwan menyebutkan
bahwa halal bihalal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang
Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai
ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya kegiatan ini
diselenggarakan setelah melakukan salat Idul Fitri. Kadang-kadang, acara halal
bihalal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fitri dalam bentuk
pengajian, ramah tamah atau makan bersama.
Konon, tradisi halal bihalal
mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 April 1725), yang
terkenal dengan sebutan ‘Pangeran Sambernyawa’. Untuk menghemat waktu, tenaga,
pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara
raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua
punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan
permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru
oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bihalal. Kemudian
instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bihalal, yang
pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama
Halal bihalal dengan makna seperti di atas juga
tidak ditemukan penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis
dengan bangga menyebutkan bahwa halal-bihalal adalah hasil kreativitas
bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia. . Namun, dalam kaca mata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan;
karena semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin
diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru
mengurangi kesempurnannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas keabsahan
tradisi halal bihalal menurut pandangan syariah.
Dari beberapa pengertian di atas,
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan halal bihalal bukanlah
tradisi saling mengunjungi di hari raya Idul Fitri yang juga umum dilakukan di
dunia Islam yang lain. Tradisi ini keluar dari pembahasan tulisan ini, meskipun
juga ada acara bermaaf-maafan di sana.
Hari raya dalam Islam harus berlandaskan dalil
(tauqifiy)
Hukum asal dalam bab ibadah adalah bahwa semua ibadah
haram sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab adat dan muamalah, segala perkara
adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Perayaan hari raya (‘id)
sebenarnya lebih dekat kepada bab mu’amalah. Tapi masalah ‘id
adalah pengecualian, dan dalil-dalil menunjukkan bahwa ‘id adalah
tauqifiy (harus berlandaskan dalil). Hal ini karena ‘id tidak hanya
adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Asy-Syathibi mengatakan:
وإن العاديات من حيث هي عادية لا بدعة
فيها، ومن حيث يُتعبَّد بها أو تُوْضع وضْع التعبُّد تدخلها البدعة.
“Dan sungguh adat istiadat dari sisi ia adat, tidak
ada bid’ah di dalamnya. Tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah,
bisa ada bid’ah di dalamnya.”
Dan tauqifiy dalam perayaan ‘id memiliki
dua sisi:
1. Tauqifiy dari sisi landasan penyelenggaraan,
di mana Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- membatasi hanya ada dua hari
raya dalam satu tahun, dan hal ini berdasarkan wahyu.
عَنْ أَنَسِ
بْنَ مَالِكٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا
نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ. قَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ
أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا؛ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ.
Anas bin Malik berkata: “Rasulullah
–shallallah ‘alaih wasallam- datang ke Madinah dan penduduknya memiliki
dua hari di mana mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya: “Apakah dua
hari ini?” Mereka menjawab: “Dahulu kami biasa bermain di dua hari ini semasa
Jahiliyah.” Beliaupun bersabda: “Sungguh Allah telah menggantikannya dengan
dua hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR Abu Dawud
no. 1134, dihukumi shahih oleh al-Albani). Maka, sebagai bentuk pengalaman dari
hadits ini, pada zaman Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- dan generasi
awal umat Islam tidak dikenal ada perayaan apapun selain dua hari raya
ini ., berbeda dengan umat Islam zaman
ini yang memiliki banyak sekali hari libur dan perayaan yang tidak memiliki
landasan syar’i.
2. Tauqifiy dari sisi tata cara pelaksanaannya,
karena dalam Islam, hari raya bukanlah sekedar adat, tapi juga ibadah yang
sudah diatur tata cara pelaksanaannya. Setiap ibadah yang dilakukan di hari
raya berupa shalat, takbir, zakat, menyembelih dan haramnya berpuasa
telah diatur. Bahkan hal-hal yang dilakukan di hari raya berupa keleluasaan
dalam makan minum, berpakaian, bermain dan bergembira juga tetap dibatasi oleh
aturan-aturan syariah
Pengkhususan membutuhkan dalil
Di satu sisi Islam telah menjelaskan tata cara
perayaan hari raya, tapi di sisi lain tidak memberi batasan tentang beberapa
sunnah dalam perayaan ‘id, seperti bagaimana menampakkan kegembiraan,
bagaimana berhias dan berpakaian, atau permainan apa yang boleh dilakukan.
Syariah Islam merujuk perkara ini kepada adat dan tradisi masing-masing.
Jadi, boleh saja umat Islam berkumpul, bergembira,
berwisata, saling berkunjung dan mengucapkan selamat. Bahkan kegembiraan ini
perlu ditekankan agar anggota keluarga merasakan hari yang berbeda dan
puas karenanya, sehingga mereka tidak tergoda lagi dengan hari besar-hari besar
yang tidak ada dasarnya dalam Islam
Namun mengkhususkan hari Idul Fitri dengan
bermaaf-maafan membutuhkan dalil tersendiri. Ia tidak termasuk dalam
menunjukkan kegembiraan atau berhias yang memang disyariatkan di hari raya. Ia
adalah wazhifah (amalan) tersendiri yang membutuhkan dalil.
Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- dan para
sahabat tidak pernah melakukannya, padahal faktor pendorong untuk
bermaaf-maafan juga sudah ada pada zaman mereka. Para sahabat juga memiliki
kesalahan kepada sesama, bahkan mereka adalah orang yang paling bersemangat
utnuk membebaskan diri dari kesalahan kepada orang lain. Tapi hal itu tidak
lantas membuat mereka mengkhususkan hari tertentu untuk bermaaf-maafan.
Jadi, mengkhususkan Idul Fitri untuk bermaaf-maafan
adalan penambahan syariah baru dalam Islam tanpa landasan dalil. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah berkata:
فَكُلُّ أمرٍ يَكُوْنُ المُقْتَضِي
لِفعْلِه عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَوْجُوْداً لَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يُفْعَلْ، يُعْلَمُ أنَّهُ لَيْسَ
بِمَصْلَحَةٍ.
“Maka setiap perkara yang faktor penyebab pelaksanaannya
pada masa Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- sudah ada jika itu maslahat
(kebaikan), dan beliau tidak melakukannya, berarti bisa diketahui bahwa perkara
tersebut bukanlah kebaikan.”
Serupa dengan bersalam-salaman setelah shalat dan
mengkhususkan ziarah kubur di hari raya
Karena tidak dikenal selain di Indonesia dan baru
muncul pada abad-abad terakhir ini, tidak banyak perkataan ulama yang membahas
secara khusus tentang halal bihalal. Namun ada masalah lain yang
memiliki kesamaan karakteristik dengan halal bihalal dan sudah banyak
dibahas oleh para ulama sejak zaman dahulu, yaitu masalah berjabat tangan atau
bersalam-salaman setelah shalat dan pengkhususan ziarah kubur di hari raya.
Berjabat tangan adalah sunnah saat bertemu dengan
orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:
عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ
فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَاََََ
Dari al-Bara’ (bin ‘Azib) ia berkata: Rasulullah –shallallah
‘alaih wasallam- bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu
berjabat tangan, melainkan keduanya sudah diampuni sebelum berpisah.” (HR.
Abu Dawud no. 5.212 dan at-Tirmidzi no. 2.727, dihukumi shahih oleh
al-Albani)
Tapi ketika sunnah ini dikhususkan pada waktu tertentu
dan diyakini sebagai sunnah yang dilakukan terus menerus setiap selesai shalat,
hukumnya berubah; karena pengkhususan ini adalah tambahan syariah baru dalam
agama. Di samping itu, bersalama-salaman setelah shalat juga membuat orang
tersibukkan dari amalan sunnah setelah shalat yaitu dzikir
Ibnu Taimiyyah ditanya tentang masalah ini, maka
beliau menjawab: “Berjabat tangan setelah shalat bukanlah sunnah, tapi itu adalah bid’ah, wallahu
a’lam“
Lebih jelas lagi, para ulama menghitung pengkhususan
ziarah kubur di hari raya termasuk bid’ah ,padahal ziarah kubur juga
merupakan amalan yang pada dasarnya dianjurkan dalam Islam, seperti dijelaskan
dalam hadits berikut:
عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا؛ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَة
Dari Buraidah (al-Aslami) ia berkata: Rasulullah –shallallah
‘alaih wasallam- bersabda: “Sungguh aku dulu telah melarang kalian
berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah; karena ia mengingatkan akhirat.”
(HR Ashhabus Sunan, dan lafazh ini adalah lafazh Ahmad (no. 23.055) yang
dihukumi shahih oleh Syu’aib al-Arnauth)
Demikian pula berjabat tangan dan bermaaf-maafan
adalah bagian dari ajaran Islam. Namun ketika dikhususkan pada hari tertentu
dan diyakini sebagai sunnah yang terus menerus dilakukan setiap tahun, hukumnya
berubah menjadi tercela. Wallahu a’lam.
Beberapa pelanggaran syariah dalam halal bihalal
Di samping tidak memiliki landasan dalil, dalam halal
bihalal juga sering didapati beberapa pelanggaran syariah, di antaranya:
1. Mengakhirkan permintaan maaf hingga
datangnya Idul Fitri. Ketika melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang
lain, sebagian orang menunggu Idul Fitri untuk meminta maaf, seperti disebutkan
dalam ungkapan yang terkenal “urusan maaf memaafkan adalah urusan hari
lebaran”. Dan jadilah “mohon maaf lahir batin” ucapan yang “wajib” pada hari
Raya Idul Fitri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fitri dan kita
diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman yang kita lakukan,
sebagaimana keterangan hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ
فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا؛ فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلا دِرْهَمٌ مِنْ
قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ
حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah bahwasanya
Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- bersabda: “Barang siapa
melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan
(dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar
dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak
punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan
kepadanya”. (HR. al-Bukhari nomor 6.169)
2. Ikhtilath (campur baur lawan jenis) yang bisa
membawa ke maksiat yang lain, seperti pandangan haram dan zina. Karenanya, Nabi
–shallallah ‘alaih wasallam- melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut:
عَنْ أَبِى
أُسَيْدٍ الأَنْصَارِىِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ
فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِلنِّسَاءِ «
اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ
بِحَافَاتِ الطَّرِيقِ ». فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى
إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ.
Dari Abu Usaid al-Anshari ia
mendengar Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- berkata saat keluar
dari masjid dan kaum pria bercampur baur dengan kaum wanita di jalan. Maka
beliau mengatakan kepada para wanita: “Mundurlah kalian, kalian tidak berhak
berjalan di tengah jalan, berjalanlah di pinggirnya.” Maka para wanita melekat
ke dinding, sehingga baju mereka menempel di dinding, saking lekatnya mereka
kepadanya”. (HR. Abu Dawud no. 5272, dihukumi hasan oleh al-Albani)
3. Berjabat tangan dengan lawan jenis
yang bukan mahram. Maksiat ini banyak diremehkan oleh banyak orang dalam halal
bihalalatau kehidupan sehari-hari, padahal keharamannya telah dijelaskan
dalam hadits berikut:
عن مَعْقِل
بن يَسَارٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ:”لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ
لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ”
Dari Ma’qil bin Yasar ia berkata:
Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- bersabda: “Sungguh jika
seorang di antara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih
baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR.
ath-Thabrani, dihukumi shahih oleh al-Albani)
Al-Albani berkata: “Ancaman keras
bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Di dalamnya
terkandung dalil haramnya menjabat tangan wanita, karena tidak diragukan lagi bahwa berjabat tangan
termasuk menyentuh. Banyak umat Islam yang jatuh dalam kesalahan ini, bahkan
sebagian ulama.”
Penutup
Dari paparan di atas, bisa kita simpulkan bahwa yang
dipermasalahkan dalam halal bihalal adalah pengkhususan bermaaf-maafan
di hari raya. Pengkhususan ini adalah penambahan syariah baru yang tidak
memiliki landasan dalil. Jadi seandainya perkumpulan-perkumpulan yang banyak
diadakan untuk menyambut Idul Fitri kosong dari agenda bermaaf-maafan, maka
pertemuan itu adalah pertemuan yang diperbolehkan; karena merupakan ekspresi
kegembiraan yang disyariatkan Islam di hari raya, dan batasannya merujuk ke
adat dan tradisi masyarakat setempat. Tentunya jika terlepas dari
pelanggaran-pelanggaran syariah, antara lain yang sudah kita sebutkan di atas.
Selain di Indonesia, pertemuan yang umum disebut mu’ayadah (saling
mengucapkan selamat ‘id) ini juga ada di belahan dunia Islam lain tanpa
pengingkaran dari ulama.
Bagi yang mengatakan “ah, cuma begini saja kok
tidak boleh!“, ingatlah bahwa Nabi –shallallah ‘alaih wasallam-
menyebut setiap perkara baru dalam agama sebagai syarrul umuur
(seburuk-buruk perkara). Maka bagaimana kita bisa meremehkannya? Setiap muslim
harus berhati-hati dengan perkara-perkara baru yang muncul belakangan.
Amalkanlah sunnah dan Islam yang murni, karena itulah
wasiyat Nabi tercinta –shallallah ‘alaih wasallam-. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar